28 April 2008

Tidak Sekedar Cinta

Pernikahan adalah keniscayaan yang tak terbantahkan bagi setiap insan. Ia adalah "mitsaqan ghaliza", sebuah ikatan kuat antara dua insan -pria dan wanita- untuk memulai menjalankan bahtera hidup bersama. Memang ia berawal dari cinta yang tumbuh (atau ditumbuhkan) oleh kedua insan, namun -kalau saya boleh menanggapi- itu tidaklah (cukup) sekedar cinta untuk memeliharanya.

Cinta memang akan memberikan kekuatan luar biasa bagi insan yang kasmaran, gunung 'kan kudaki, lautan pun 'kan kuseberangi demi yang bernama cinta. Ia memang bersumber dari hati bukan dari akal. Ada yang mengatakan, jangan tanya akal tentang wanita/pria yang hendak dinikahi. Pastilah akal akan menunjukkannya kekurangannya, dan pasti Anda akan berpikir berulang kali untuk menikahinya. Tapi tanyailah hati, maka ia menjawab penuh kelebihan, kalaupun ada sedikit cacat maka hati akan menugaskan akal untuk mencari pembenarannya.

Ibn Hazm pernah menulis: "Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Ia tidak dapat dilukiskan tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak melarangnya. Karena hati di tangan Tuhan, ia yang membolak-baliknya".

Cinta bukan berarti tidak rasional, tapi ia akan gersang apabila dipaksa untuk dirasionalkan. Itu sama saja memaksakan untuk me-materi-kan 'cinta'. Tapi cinta bisa untuk dipikirkan. Dan cinta tanpa pegangan akal hanya akan menjadikan kendaraan tanpa kendali. Jikalau cinta itu bersambut, kelak kemungkinan besar insan itu terjangkiti rasa cemburu buta (over obsesif). Dan apabila cinta itu tak bersambut, kelak kemungkinan besar insan itu terjerembab kedukaan (broken heart syndrom) yang berkepanjangan.

Usai cinta ditumbuhkan, perlu dimulai kelapangan dada, mawaddah, untuk menerima kekurangan yang ada. Cinta sering kali hanya sampai menerima hanya pada kelebihan yang dimiliki pasangannya. Bukankah Allah pernah mengingatkan, suami adalah pakaian bagi istrinya dan isteri adalah pakaian bagi suamnya? Sikap mawaddah dalam pernikahan adalah mau menerima apapun yang dimiliki pasangannya, lebih dan kurangnya. Saling memperkuat kelebihan yang dimilki dan menutupi kekurangan yang ada.

Terakhir, adalah harapan atas rahmat Allah. Cinta dan mawaddah bisa diputuskan oleh waktu dan situasi, tapi tidaklah dengan ke-rahman-an Allah, yang akan abadi. Namun tentunya itu pun terkait erat amanah yang dituntunkan Allah bagi sang suami dan sang isteri. Dengan ke-rahman-annya Allah, hati kedua insan tetap terjaga meski badai dan ombak bergulung menerpa bahtera.

Sekali lagi, bagi yang sedang kasmaran, pernikahan tidaklah cukup (sekedar) cinta. Ia adalah pertautan cinta yang terangkai akal, terjalin dalam mawaddah, merangkumkan diri dalam rahmah dan amanah Allah. Insya Allah, barokah menjadi keniscayaan yang selalu hadir bagi pernikahan dua insan itu dan mengikatkannya dalam kebaikan.

"Barakallahulaka wa baroka alaiah, wa jama baina huma fii khoiir"

Mengutip puisi Buya Hamka
Kembangkan layar, bahtera siap berlayar!

Kami hanya mengantar hanya sampai sini
Berlayarlah, berlayarlah...

No comments: