28 April 2008

Romantisme Freire

Paulo Freire bukan sekedar tokoh pendidikan alternatif, yang sering kali dikutip para "aktivis" sebagai referensi menggugat industrialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Dan banyak juga dikutip sebagai pembelaan para "drop out"-ers atas ketidakmampuan akademiknya. Bagi saya, dia merupakan ideolog sekelas Karl Marx, Sun Yat Sen, atau setidaknya sekelas Soekarno-lah. Buku masterpiece-nya "Pedagogy of The Oppresed" yang di-Indonesiakan oleh YOI menjadi "Pendidikan Kaum Tertindas" menjadi Das Capital pendidikan revolusioner bagi aktivis di berbagai negara dunia ketiga. Sempat diberangus di negaranya Brasil (termasuk Indonesia era orba 80an) karena dianggap merongrong stabilitas status quo.

Freire lahir di Recife, Brasil tahun 1921 dan meninggal 7 tahun yang lalu (1997). Secara akademis meraih gelar Doktor ilmu Sejarah & Filsafat Pendidikan Univ. Recife Brasil. Sempat bekerja di UNESCO & menjadi Guru Besar di Harvard. Salah satu gerakan revolusionernya muncul saat ia mengajar kalangan el pobresiado, sejenis wong cilik lah, di belantara Amazon. Ia menyaksikan terserabutnya kesadaran belajar menjadi pemaksaan mekanis negara melalui sekolah. Murid "ditindas" kesadarannya oleh "sang penindas" yakni Guru yang sebelumnya pun "tertindas" sistem pengajaran berlabel nasional. Antagonisme ini ternyata bermunculan di kota-di desa dengan beragam tampilan:

  1. Guru mengajar, murid belajar
  2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
  3. Guru bicara, murid mendengarkan
  4. Guru mengatur, murid diatur
  5. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Praksis Freire menghadapi penindasan antagonisme ini ialah CONSIENTIZATION, yakni proses penyadaran dalam keseluruhan proses pendidikan, dari "kesadaran naif" hingga tingkat "kesadaran kritis", sampai akhirnya mencapai kesadaran tertinggi, yakni "kesadarannya kesadaran". Ungkapnya, pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dalam arti sesungguhnya yakni jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya!

Karena sesungguhnya, terdapat hidden agenda dibalik pemaksaan mekanis di lembaga SEKOLAH ini, yakni arus KAPITAL yang menggiurkan selain pesan STABILITAS status quo di negara otoriter dunia ketiga. Kebutuhan atas pendidikan berlabel sekolah itu sudah menjadi kebutuhan dasar sekaligus kebutuhan prestise. Klop sudah, Supply & Demand. "Sekolah bermutu sudah pasti mahal!" menjadi jargon bagi sang pemodal perusahaan bernama sekolah di negeri ini. "Standarisasi Internasional" pun menjadi hegemoni baru negara kaya terhadap negara miskin. Tak heran, keluaran yang dihasilkan pun harus menjadi agen kapitalistis, pergi pagi pulang petang menilai seberapa rupiah yang akan dihasilkan pasca pendidikan. Di negeri ini sepertinya tidak tersisa lagi sepotong roti bernama pendidikan bagi rakyat kecil.

Meski tak senaif Ivan Illich yang melakukan gerakan bebas dari sekolah atau Everett Reimer yang mengatakan "School is Dead!", Freire tidak menafikan institusional sekolah sebagai bagian dari perwujudan hak rakyat terhadap negara, yakni HAK untuk mendapatkan pendidikan tanpa biaya. Romantisme Freire ini sesungguhnya bisa menjadi ideologi penawar di negeri ini, saat parpol-parpol menjual ideologi murahan bernama kepentingan. Kita butuh Freire-Freire baru yang mengkontribusikan hidupnya bagi ilmu, pendidikan, dan kemanusiaan.

Terakhir, Freire membukakan mata kita bahwa sesungguhnya tujuan akhir upaya atas segala proses pendidikan adalah "memanusiakan manusia itu sendiri!".

Man arafa nafsah, arafa Rabbah.

-------
"bunga yang hanya tumbuh sendiri tak perlu cemburui duri yang tumbuh beramai-ramai"
(rabindranath tagore)

No comments: