28 April 2008

Tentang Agama

Sahabat baik saya mempertanyakan mana yang lebih penting agama sebagai institusi atau berketuhanan sebagai esensi? Menurutnya, sebagai sebuah institusi, agama rentan terhadap penyalahgunaan yang akhirnya menjauhkan diri dari esensi.

atas nama agama manusia mengklaim kebenaran
atas nama agama manusia membunuh manusia lain
atas nama agama peperangan di kobarkan
atas nama agama ...

"Adakah berkeTuhanan tanpa agama? jangan atur aku untuk mencintai Tuhan-ku, titik!!"

Tarik ulur "esensi" versus "institusi" itu pertarungan yang selalu muncul menggelitik dalam benak siapapun yang berpikir. Kalaupun kita malas berpikir, juga akan selalu ada dan diada-adakan seperti tebak-tebakan saat kita kecil, duluan mana telur atau ayam?! Pilih mana minyak samin cap babi atau daging babi cap unta?!

Saya tidak mengatakan kontradiksi, karena tidak ada yang perlu dan harus dipertentangkan, antara "esensi" dan "institusi", atau "isi" dan "kulit", atau apapun istilah yang digunakan. Kita sebagai manusia membutuhkan keduanya, contradictio in harmony, seperti siang dan malam.

Menurut Islam yang saya fahami -dengan keterbatasannya-, seorang yang mengaku (beragama) Islam haruslah mengejawantahkan "esensi" & "institusi" dalam keimanannya. Secara sederhana, seorang muslim ia memiliki hak untuk mencintai dan dicintai Illahi Rabbi dalam berkeTuhanannya secara esensial. Namun ia memiliki kewajiban untuk membangun keberTuhanannya itu dalam lahiriah hidup manusia, berkeTuhanan dalam diri sendirinya juga
berkeTuhanan dengan keluarga & masyarakat.

Seorang yang memandang esensi keberagamaannya saja itu adalah seorang EGOIS. Memandang Tuhan adalah miliknya sendiri, ia hanya ingin menikmati berkeTuhanannya seorang diri. Tidak boleh ada orang yang mengatur dirinya dan karenanya tidak merasa nyaman untuk berkeTuhanan bersama (institusional).

Sementara seorang yang memandang institusi keberagamaannya saja adalah seorang ZALIM. Memaksakan kehendak dengan mencabut hak lahiriah manusia untuk berkeTuhanan, bahkan
juga mencabut hak Tuhan untuk mencintai hambaNya. Dilakukanlah industrilisasi agama (=institusionalisasi keberTuhanan) dengan nama partai Islam, Negara Islam, Khilafah Islamiah atau apapun namanya.

Sahabat saya mengutip anjuran Ivan Illich untuk menghilangkan sekolah dari masyarakat, karena "institusi" sekolah telah gagal memberikan "esensi" pembelajaran. Mungkinkankah pembelajaran tanpa sekolah?

Ivan Illich, Paulo Freire, atau Everet Reimer melakukan gerakan anti industrilisasi sekolah, karena memandang kewajiban negara untuk memberikan hak belajar telah dilencengkan jauh dari esensi & tujuan mulia dari belajar, yakni memanusiakan manusia. Tapi mereka tidak menolak institusi dan sarana sekolah yang memang adalah HAK rakyat. Memperjuangkan esensi belajar tanpa memperjuangkan institusional sekolah sama-sama mencabut hak rakyat. Meski institusionalisasi sekolah itu bukanlah sekedar mendirikan sebanyak-banyak "bangunan" sekolah.

Mungkinkah pembelajaran tanpa sekolah? Coba kita tengok di pedalaman negeri kita, komunitas suku Baduy Dalam. Mereka memiliki kearifan yang luar biasa meski ia bukan tamatan sekolah ternama bahkan ia tidak pernah menginjakkan kakinya di sekolah. Namun ia belajar dari alam tentang keseimbangan, tidak pernah mencemari sungai dengan buang hajat di aliran sungai, tidak pernah menebang pohon di hutan melebihi kebutuhannya, ia mengetahui mana haknya dan mana hak alam, mana haknya dan mana hak orang lain. Jauh dibandingkan Nabiel Makarim, mantan Meneg KLH, yang tidak tahu mana hak pribadi dan mana hak rakyat dalam "kasus buyat". Atau Nazarudin Syamsudin sang ketua KPU, doktor lulusan universitas terbaik Monash University, yang tidak tahu mana hak pribadi dan mana hak rakyat.

Jadi bicara tentang "esensi" versus "institusi" cuma buang-buang waktu atau -maaf- "yang ngga ada kerjaan, apa ngga ada yang dipikirin lagi". Yang perlu jadi pe-er untuk kita yang masih mau berpikir ke depan adalah bagaimana membangun HARMONI antara keberIslaman secara esensial dan institusional. Harmoni muncul karena ada kebutuhan di antara keduanya sehingga tidak ada yang harus dipaksakan. Harmoni adalah keseimbangan sehingga tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk.

ditulis di Ciledug, Juni 2005

2 comments:

Anonymous said...

Fantastic ulasan-nya Boss!

Tapi ada beberapa nih yang ane kurang sepokat.

Lebih pada tataran pragmatis.

'Semangat' pertanyaan akan esensi versus institusi masih relevan ketika kita berusaha membangun hubungan antar manusia dalam skala yang lebih besar, membangun kesepakatan dalam sebuah komunitas.

Derivasinya bisa dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan seperti ..

Perlukan sistem agama di establish atas nama institusi, sementara kontrak sosial di rasa sudah cukup untuk menegakan esensi?

Ataukah malah kontrak sosial menjadi sebuah institusi baru yang juga memiliki tendensi kehilangan arah esensi?

Mohon pencerahan-nya Akhi :-)

Cheers!

Prima Ariestonandri said...

Tantangan topik diskusi yg menarik untuk pencerahan bersama. Tunggu sobat, butuh perenungan dulu.

Salam