28 April 2008

Lagi Tentang Agama

Sahabat baik saya bertanya kembali tentang dimana letak keadilan Tuhan. Jika seorang Osama bin Laden yang melakukan "teror" lalu berkomat-kamit menyebut Allah boleh masuk syurga. Sementara Che Guavera harus terlempar ke jahannam karena enggan percaya takdir? Lanjutnya, dimana letak keadilan Allah jika Ujang bin Mahmud yang pencopet itu akhirnya dibolehkan masuk jannatun na'im karena bersholawat, sedangkan Einstein kehilangan hak ditemani bidadari karena tidak bersyahadat?

Ngomongin Einsten yang tidak dizinkan masuk surga karena tidak ber-Islam dan Ujang si pecopet yang diizinkan masuk surga karena sempat bersyahadat, sama seperti kita ngomongin "esensi" vs "institusi". Wajar saat kita berpikir jauh, akan ada pertanyaan yang menggelitik tentang surganya Ujang dan nerakanya Eisntein.

Beragam versi tentang perdebatan ini muncul dan tidak pernah & tidak akan pernah berhenti. Pro kontra pun bergiliran. Terakhir yang jadi kontroversi publik, tahun 1980-an pernah saat muncul buku catatan harian seorang muslim, Ahmad Wahib, yang dibesarkan dengan penuh cinta oleh seorang pastur, lalu ia menulis tidak adilnya Tuhan karena tidak dimasukkannya si pastur itu ke surga. Hujatan dari aktifis Islam dengan membakar buku-bukunya. Lalu ada pula pujian dari kalangan pembaharu Nurcholish Madjis dkk. yang diberikan kepadanya.

Terlepas benar atau tidaknya Ahmad Wahib, bagi saya ia adalah orang yang berpikir. Dan terlepas benar atau tidaknya kemarahan aktivis Islam dengan membakar bukunya, bagi saya, para aktivis itu adalah orang yang tidak berpikir. Dan bagi saya orang berpikir itu ada dua peluang, yakni mendapatkan kebenaran atau mendapatkan kesesatan. Kebenaran sejati akan bisa ditemukan saat terjadi pertarungan dengan kesesatan. Dan kebenaran itu tidaklah instan, ia harus dicari dengan kemuliaan yang diberikan hanya kepada manusia yakni akal bagi orang yang berpikir.

Sementara itu kalau orang yang tidak mau berpikir hanya ada satu peluang, yakni mendapatkan kesesatan. Apa kata kyai, ustadz, atau murabbi ditelannya bulat-bulat tanpa mau berpikir. Meski itu kebenaran, tapi bagi saya, orang itu menyesatkan otaknya untuk tidak bekerja sesuai fungsinya. Sama saja melecehkan pemberian Tuhan hanya untuk taklid kepada kyai, ustadz, atau murabbi.

Pertanyaan surga dan nerakanya orang yang dicintai atau yang dianggap memberikan kebaikan duniawi, bukan saja dilakukan oleh si penulis muslim tadi atau kawan saya saja. Sang Abul Anbiyaa, Ibrahim As. pun pernah mempertanyakan surga bagi ayahnya. Terlepas kekafiran Aadzar, ia telah membesarkan dan menghidupi Ibrahim, namun Allah menolak karena keyakinan Aadzar hanya kepada berhala buatannya (QS. 60:4).

Keyakinan kepada-Nya adalah hak Tuhan untuk membalasnya.
Itulah Keadilan Tuhan.

Muhammad Rasulullah pun pernah dihingga kebimbangan ini dan "menggugat" Tuhan karena sang paman, Abu Thalib, yang dicintainya dan juga telah beramal membesarkan dirinya, membiayai dakwah, dan hidupnya namun saat ajal harus memasuki neraka. Allah menjawabnya:

"Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada siapa yang engkau kasihi, tetapi Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk" (QS. 28:56).

Keyakinan kepada-Nya adalah hak Tuhan untuk membalasnya.
Itulah Keadilan Tuhan.

Apabila Einsten diminta memilih tentang keyakinannya tentang teori relativitas atau menerima Nobel namun mengubah teorinya untuk kepentingan industri. Sudah pasti ia akan memilih keyakinannya tentang teorinya. Apabila Che Guevera diminta memilih keyakinannya atas kemerdekaan Kuba atau kemuliaan membela diktator Bolivia, pasti dan ia telah membuktikannya dengan memilih mati demi keyakinan.

Begitu mahalnya keyakinan, sehingga harta, kemuliaan, dan jiwa tidak menjadi penghalang untuk membela keyakinannya.

Saat Tuhan menciptakan manusia di dunia ini, menciptakan segala isi alam ini dari partikel terkecil hingga besarnya semesta tata surya, memberikan ke-Rahman-an & ke-Rahim-an kepada seluruh makhluk-Nya. Kita disadarkan: "fa bi ayyi aalaa-i rrabikumaa tukadzdzibaan" (Maka Nikmat dari Rabb mana yang kamu akan dustakan?!, QS. Ar Rahman). Tuhan tidak meminta kita untuk mengganti segala nikmat yang diberikan-Nya, Dia hanya meminta kita untuk sebuah KEYAKINAN kepadanya. Dan ke-MahaBesaran-Nya, Dia akan membalas lebih dari segala isi dunia dan kemuliaannya, yakni dengan SURGA.

Keyakinan kepada-Nya adalah hak Tuhan untuk membalasnya.
Itulah Keadilan Tuhan.

Apakah kita berhak mengatakan Tuhan tidak adil, karena Einsten yang hanya memiliki kecerdasan sebatas teori relativitasnya tapi tidak meyakini ALLAH (ISLAM), lalu Dia balas dengan neraka-Nya.

Apakah kita berhak mengatakan Tuhan tidak adil, karena Che Guevera yang hanya memiliki keberanian melawan dikatator Bolivia tapi tidak meyakini ALLAH (ISLAM), lalu Dia balas dengan neraka-Nya. Apakah kita berhak mengatakan Tuhan tidak adil, karena si Ujang yang hanya memiliki kesalahan mencuri tapi bertobat & meyakini ALLAH (ISLAM), lalu Dia balas dengan surga-Nya.

Itulah harga sebuah KEYAKINAN.
Itulah keadilan Tuhan.

Sejujurnya, hingga detik ini saya belum mengerti benar tentang keadilan Tuhan, apalagi saat menghadapi langsung yang dinamakan takdir. Saat saya ditinggalkan almarhumah ibu saya (allahumaghfirlahu), kekerdilan pikiran saya pun protes, kenapa harus ibu saya? kenapa bukan para koruptor? Padahal saya belum lama puas bercengkerama penuh cinta dengan ibu, dan saya (bahkan banyak orang) sudah muak dengan hidupnya koruptor!!

Saya hanya bisa jatuh bersimpuh, dan hanya bisa meyakini: Itulah keadilan Tuhan. Itulah keadilan Tuhan yang saya belum mengerti hingga saat ini, namun saya meyakini bahwa Dialah Tuhan yang memiliki keadilan yang seadil-adilnya. Karena siapa lagi yang bisa saya percayai dan diyakini kebenarannya selain Allah.

*ditulis di Ciledug, Juni 2005

No comments: