08 May 2008

Ayat-Ayat Cinta: Antara Label Islami dan Menjual Impian

Awal Maret lalu, karena penasaran dan juga ajakan isteri dan keluarga, akhirnya nonton juga film yang digembar-gemborkan media ini. Abis nonton film biar sekalian ilang penasaran, saya baca juga buku karya Habibburahman el Shirazi ini semalam suntuk. Padahal udah lama banget ngga nonton film di bioskop dan baca novel (seringnya Kho Ping Ho).

Menurut saya, ayat-ayat cinta versi film itu lebih menarik dibanding versi novelnya. Alur versi novel cenderung monoton dan peran Fahri sangat mendominasi novel dari awal hingga akhir. Terlalu banyak pesan moral, ayat-ayat Qur’an, hadits, fikih, dan pemikiran Islam yang ingin dijejali. Bahkan secara tidak sadar, pembacanya pun digurui oleh penulis melalui tokoh utama dalam novel itu.

Apakah salah? Memang tidak salah dan tidak ada satu pun aturan sastra yang melarang hal itu. Namun bisa dibayangkan, jika Anda menonton film lepas di stasiun TV yang diselingi banyak iklan yang berbeda. Berapa banyak iklan yang dapat Anda Ingat?! Tentu tidak lebih dari hitungan satu jari tangan manusia. Jadi untuk apa menjejali pembaca dengan banyak pesan yang akan cepat dilupakan. Apabila ingin memasukkan “pesan ideologis”, lebih baik tanamkan satu pesan secara tersirat di dalam novel itu.

Ada pemaksaan alur antara penceritaan roman dan dakwah di alur yang lain. Terus terang, dalam novelnya keduanya tidak maksimal. Malah ada beberapa kontradiksi. Seperti bagaimana di kata pengantar menyebutnya sebagai novel dakwah, religi, dan politis. Kalo memegang mazhab fikih Imam Syafii yang dipegang mayoritas, ada pertanyaan timbul tentang perkawinan berbeda agama antara Fahri dengan Maria (Kristen Koptik), apakah boleh? Meski diceritakan Maria ingin menikahi Fahri, tetap tidak ada pembenaran (menurut 4 madzhab utama) bolehnya menikahi seorang wanita saat kondisi tidak sadar, koma!!

Tipologi Fahri sebagai peran utama hampir mirip dengan penokohan “ikhwan ideal” di kalangan aktifis kampus. Dengan karakter menjaga pandangan, pintar, hafal qur’an, memiliki liqo, aktifis kampus, ritualitas membaca al matsurah. Tidak ada yang melebihi dirinya. Waaw supeer bangeet. Terkadang melihat hanya “dirinya” yang paling super, karena -kalo mau jujur- tidak membuka karakter-karakter lain yang sebenarnya di luar kalangan aktifis kampus, ada yang lebih super. Sang jagoan dengan karakter ini, apabila ada yang menentangnya, tentu pada akhirnya harus menang. Sebuah mimpi dan hasrat terpendam seorang ikhwan yang menjauhkan dari realita dakwah sesungguhnya.

Sementara film besutan Hanung Bram, relatif cukup baik memperbesar beberapa pemain pendukung. Tampak peran Saiful (Oka Antara) dan Nurul (Melanie Putri) memperkuat karakter peran yang ada. Alur film relatif cukup baik, dengan memainkan naik turun emosional penonton yang dilatari soundtrack dari Rossa (karya Melly Goeslaw) cukup apik. Namun peran antogonis dari pemain India kayaknya ambil pemain sinetron ala kadarnya. Pesan yang diambil cukup baik, seperti tentang bagaimana Islam memandang orang non muslim. Tapi memang embe-embel lainnya terlalu dipaksakan. Yang menarik, Hanung Sang Sutradara berani berbeda dengan novelnya, saat Fahri dipenjara ia diceritakan mendapat pelajaran penting tentang kesombongan kesempurnaan dari narapidana teman satu selnya. Sementara novel aslinya terlalu mengada-ada dengan dipenjara dengan aktifis dan profesor penentang rezim Mesir.

Bisa jadi beban “misi” membuat novel islami ini, Kang Abik membuat sosok Fahri menjadi seorang “Ikhwan” yang super. Kalo kita menengok ke belakang, genre novel islami bermunculan belakangan ini lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap munculnya novel Saman-nya karya Ayu Utami, yang mengumbar aurat dalam penokohannya. Sastra cabul –menurut Taufik Ismail- yang mendapat penghargaan ini akhirnya menjadi pemicu pertarungan kalangan yang Pro RUU Pornografi & Pornoaksi yang diwakili novel islami dan sisi lain sebagai kubu yang kontra.

Pertarungan ideologis dalam karya sastra ini sebenarnya juga sudah lama terjadi, sejak jaman Balai Pustaka yakni karya Sutan Takdir Alisyahbana yang dianggap pro Barat dengan sastrawan yang masih memegang nilai-nilai ketimuran. Lalu puncaknya adalah pertarungan Lekra pada masa orde lama. Namun yang perlu digarisbawahi, novel-novel yang melekat di hati masyarakat, yang menjadi inspirasi, bahkan bisa menggugah hati sanubari pembacanya, adalah novel yang tidak menjejali pembaca pesan-pesan “sponsor”. Sebuah novel yang ditulis dengan keindahan alur, penokohan, gaya bahasa, dan realita kehidupan oleh penulisnya.

Bagaimana pesan-pesan humanis dan revolusioner dapat dibalut apik oleh karya-karyanya Pramudya Ananta Toer. Bagaimana menariknya AA Navis dengan “Robohnya Surau Kita” dapat menggugah pembacanya dari sebuah cerita ironi yang ada di masyarakat, tanpa harus menjejali pembaca dengan khutbah panjang lebar. Hamka dengan “Tenggelamnya Kapal Van Derwijk”. Abdul Muis dengan “Salah Asuhan”. Novel tersebut menjadi legenda hingga saat ini.

Novel AAC cenderung monoton, tokoh protagonis sebenarnya dapat lebih heroik dengan membesarkan tokoh antagonis. Akan lebih menarik apabila tokoh protagonis di AAC, Fahri, mendapatkan perlawanan berat dari tokoh antagonis. Bukankah tokoh besar di dunia itu ADA dikarenakan adanya tokoh penjahatnya yang hebat pula. Superman vs Luthornya. Si Pitung vs Kumpeni. SBY vs Mega (kalo yg ini gw ngga tahu deh mana yg jagoan, mana yg penjahat). Saya malah lebih suka dan menilai buku “Laskar Pelangi”-nya Andreas Hareta luar biasa yang patut disebut novel Islami. Dan wajib dibaca para aktifis muslim. Bagaimana mencerita peran kecil ibu guru Muslimah di kampung belitong mampu membesarkan cita-cita anak-anak ndeso.

Tapi apapun komentar di atas, terbukti pasar menyukainya man! Bayangin 500 ribu eksemplar. Buku saya (sekalian promo, "Marketing Research for Beginner", Penerbit Andi) aja 3 ribu eksemplar (2 kali cetakan) aja lama banget lakunya. Misalkan, royaltinya sebesar Rp. 2000 (10% harga jual) dikali 500 ribu, berarti dalam 2-3 tahun didapat Rp. 1 milyar!! Belum dari royalti filmnya. Dan juga terbukti dalam "mempublikasikan" poligami, AAC lebih berhasil dibandingkan AA Gym.

Satu pelajaran penting dari novel dan film AAC ini adalah bagaimana menjual mimpi. Mimpi membuat semua orang melupakan realita diri sesungguhnya. Mimpi seorang ikhwan untuk berpoligami. Dan mimpi seorang wanita adalah memiliki suami yang alim, beragama, dan romantis.

Jadi para ikhwan dan akhwat, selamat bermimpi.

Graha Raya Bintaro, Maret 2008