29 April 2008

Nilai Sebuah Harapan

Mengutip John Clements, sebagaimana yang ia tulis, kekayaan hidup yang paling berguna itu mencakup lima hal yakni: nobility, creativity, aspirations, visions, dan hope for the future.


Saya cenderung menggaris bawahi hal yang terakhir: harapan akan masa depan. Hidup tanpa harapan, adalah sama saja melewati kehidupan hanya dengan menunggui matahari. Besok pagi pasti terbit di timur, dan besok sore pasti akan tenggelam di barat. Tidak ada ketidakpastian, tidak ada kejutan, tidak ada resiko. Semuanya berjalan rutin dalam ritme yang sudah teratur. Lurus-lurus saja Bung! Nggak ada suasana deg-degan dan greget.

Seorang korban perang dunia kedua yang sempat disekap di kamp syaraf Jerman bertahun-tahun, Victor Frankl, pernah bertutur tentang pengalaman hidupnya sebagai tahanan yang nyaris tanpa harapan. Sejumlah kerabat dan rekannya telah mati. Ada banyak variasi sebab yang menimbulkan kematian mereka. Sakit, stress, disekap, atau ditembak tentara-nya NAZI Hitler karena macam-macam sampai dengan bunuh diri.

Satu-satunya yang membedakan manusia hidup dan berhasil kembali pulang, dengan mereka yang telah tewas -masih menurut penuturan Frankl- hanya satu : "harapan untuk hidup".

Anda boleh belum mencapai apa yang Anda inginkan, kehilangan orang-orang yang Anda kasihi, kehabisan uang, atau hidup sendiri dan ditinggalkan teman-teman, namun jangan biarkan diri Anda kehilangan kekayaan hidup paling berguna ini.

Harapan adalah asasi yang paling dalam dari seorang manusia. Tidak ada seorangpun -selain Sang Pencipta- yang berhak merenggut harapan seseorang, se-IRASIONAL atau se-IMPOSIBLE apapun harapan itu!!

Adalah "character assasins" bagi orang yang melarang seseorang utk memiliki harapan. Dengan berbagai alasan: "nggak mungkin!"-lah, "berpikirlah Rasional!"-lah, atau "Ngaca dulu Bung, jangan mimpi!" sampai tertawaan dan pelecehan lainnya. Menghargai harapan seseorang sama halnya memberikan kehidupan dan masa depannya. Sebaliknya membunuh harapan seseorang sama halnya membunuh kehidupan dan masa depannya.

Seperti yang dikabarkan al Qur'an, siapa yang memberikan kehidupan kepada satu makhluk bumi sama halnya dengan memberikan kehidupan seluruh alam raya. Dan sebaliknya siapa yang membunuh kehidupan kepada satu makhluk bumi sama halnya dengan membunuh kehidupan seluruh alam raya.

Memulai hari dengan harapan berarti memulai sebuah kehidupan. Berharap akan pendamping hidup (suami/isteri) yang setia, kekayaan yg berlimpah, hingga kehidupan bahagia di akhirat nanti.

Terus dan teruslah berharap, se-IRASIONAL atau se-IMPOSIBLE apapun harapan itu!! Seperti sebuah lirik lagu "to dream the impossible dream, to reach the unreachable stars".

*ditulis di Depok, Oktober 2003

28 April 2008

Tentang Agama

Sahabat baik saya mempertanyakan mana yang lebih penting agama sebagai institusi atau berketuhanan sebagai esensi? Menurutnya, sebagai sebuah institusi, agama rentan terhadap penyalahgunaan yang akhirnya menjauhkan diri dari esensi.

atas nama agama manusia mengklaim kebenaran
atas nama agama manusia membunuh manusia lain
atas nama agama peperangan di kobarkan
atas nama agama ...

"Adakah berkeTuhanan tanpa agama? jangan atur aku untuk mencintai Tuhan-ku, titik!!"

Tarik ulur "esensi" versus "institusi" itu pertarungan yang selalu muncul menggelitik dalam benak siapapun yang berpikir. Kalaupun kita malas berpikir, juga akan selalu ada dan diada-adakan seperti tebak-tebakan saat kita kecil, duluan mana telur atau ayam?! Pilih mana minyak samin cap babi atau daging babi cap unta?!

Saya tidak mengatakan kontradiksi, karena tidak ada yang perlu dan harus dipertentangkan, antara "esensi" dan "institusi", atau "isi" dan "kulit", atau apapun istilah yang digunakan. Kita sebagai manusia membutuhkan keduanya, contradictio in harmony, seperti siang dan malam.

Menurut Islam yang saya fahami -dengan keterbatasannya-, seorang yang mengaku (beragama) Islam haruslah mengejawantahkan "esensi" & "institusi" dalam keimanannya. Secara sederhana, seorang muslim ia memiliki hak untuk mencintai dan dicintai Illahi Rabbi dalam berkeTuhanannya secara esensial. Namun ia memiliki kewajiban untuk membangun keberTuhanannya itu dalam lahiriah hidup manusia, berkeTuhanan dalam diri sendirinya juga
berkeTuhanan dengan keluarga & masyarakat.

Seorang yang memandang esensi keberagamaannya saja itu adalah seorang EGOIS. Memandang Tuhan adalah miliknya sendiri, ia hanya ingin menikmati berkeTuhanannya seorang diri. Tidak boleh ada orang yang mengatur dirinya dan karenanya tidak merasa nyaman untuk berkeTuhanan bersama (institusional).

Sementara seorang yang memandang institusi keberagamaannya saja adalah seorang ZALIM. Memaksakan kehendak dengan mencabut hak lahiriah manusia untuk berkeTuhanan, bahkan
juga mencabut hak Tuhan untuk mencintai hambaNya. Dilakukanlah industrilisasi agama (=institusionalisasi keberTuhanan) dengan nama partai Islam, Negara Islam, Khilafah Islamiah atau apapun namanya.

Sahabat saya mengutip anjuran Ivan Illich untuk menghilangkan sekolah dari masyarakat, karena "institusi" sekolah telah gagal memberikan "esensi" pembelajaran. Mungkinkankah pembelajaran tanpa sekolah?

Ivan Illich, Paulo Freire, atau Everet Reimer melakukan gerakan anti industrilisasi sekolah, karena memandang kewajiban negara untuk memberikan hak belajar telah dilencengkan jauh dari esensi & tujuan mulia dari belajar, yakni memanusiakan manusia. Tapi mereka tidak menolak institusi dan sarana sekolah yang memang adalah HAK rakyat. Memperjuangkan esensi belajar tanpa memperjuangkan institusional sekolah sama-sama mencabut hak rakyat. Meski institusionalisasi sekolah itu bukanlah sekedar mendirikan sebanyak-banyak "bangunan" sekolah.

Mungkinkah pembelajaran tanpa sekolah? Coba kita tengok di pedalaman negeri kita, komunitas suku Baduy Dalam. Mereka memiliki kearifan yang luar biasa meski ia bukan tamatan sekolah ternama bahkan ia tidak pernah menginjakkan kakinya di sekolah. Namun ia belajar dari alam tentang keseimbangan, tidak pernah mencemari sungai dengan buang hajat di aliran sungai, tidak pernah menebang pohon di hutan melebihi kebutuhannya, ia mengetahui mana haknya dan mana hak alam, mana haknya dan mana hak orang lain. Jauh dibandingkan Nabiel Makarim, mantan Meneg KLH, yang tidak tahu mana hak pribadi dan mana hak rakyat dalam "kasus buyat". Atau Nazarudin Syamsudin sang ketua KPU, doktor lulusan universitas terbaik Monash University, yang tidak tahu mana hak pribadi dan mana hak rakyat.

Jadi bicara tentang "esensi" versus "institusi" cuma buang-buang waktu atau -maaf- "yang ngga ada kerjaan, apa ngga ada yang dipikirin lagi". Yang perlu jadi pe-er untuk kita yang masih mau berpikir ke depan adalah bagaimana membangun HARMONI antara keberIslaman secara esensial dan institusional. Harmoni muncul karena ada kebutuhan di antara keduanya sehingga tidak ada yang harus dipaksakan. Harmoni adalah keseimbangan sehingga tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk.

ditulis di Ciledug, Juni 2005

Lagi Tentang Agama

Sahabat baik saya bertanya kembali tentang dimana letak keadilan Tuhan. Jika seorang Osama bin Laden yang melakukan "teror" lalu berkomat-kamit menyebut Allah boleh masuk syurga. Sementara Che Guavera harus terlempar ke jahannam karena enggan percaya takdir? Lanjutnya, dimana letak keadilan Allah jika Ujang bin Mahmud yang pencopet itu akhirnya dibolehkan masuk jannatun na'im karena bersholawat, sedangkan Einstein kehilangan hak ditemani bidadari karena tidak bersyahadat?

Ngomongin Einsten yang tidak dizinkan masuk surga karena tidak ber-Islam dan Ujang si pecopet yang diizinkan masuk surga karena sempat bersyahadat, sama seperti kita ngomongin "esensi" vs "institusi". Wajar saat kita berpikir jauh, akan ada pertanyaan yang menggelitik tentang surganya Ujang dan nerakanya Eisntein.

Beragam versi tentang perdebatan ini muncul dan tidak pernah & tidak akan pernah berhenti. Pro kontra pun bergiliran. Terakhir yang jadi kontroversi publik, tahun 1980-an pernah saat muncul buku catatan harian seorang muslim, Ahmad Wahib, yang dibesarkan dengan penuh cinta oleh seorang pastur, lalu ia menulis tidak adilnya Tuhan karena tidak dimasukkannya si pastur itu ke surga. Hujatan dari aktifis Islam dengan membakar buku-bukunya. Lalu ada pula pujian dari kalangan pembaharu Nurcholish Madjis dkk. yang diberikan kepadanya.

Terlepas benar atau tidaknya Ahmad Wahib, bagi saya ia adalah orang yang berpikir. Dan terlepas benar atau tidaknya kemarahan aktivis Islam dengan membakar bukunya, bagi saya, para aktivis itu adalah orang yang tidak berpikir. Dan bagi saya orang berpikir itu ada dua peluang, yakni mendapatkan kebenaran atau mendapatkan kesesatan. Kebenaran sejati akan bisa ditemukan saat terjadi pertarungan dengan kesesatan. Dan kebenaran itu tidaklah instan, ia harus dicari dengan kemuliaan yang diberikan hanya kepada manusia yakni akal bagi orang yang berpikir.

Sementara itu kalau orang yang tidak mau berpikir hanya ada satu peluang, yakni mendapatkan kesesatan. Apa kata kyai, ustadz, atau murabbi ditelannya bulat-bulat tanpa mau berpikir. Meski itu kebenaran, tapi bagi saya, orang itu menyesatkan otaknya untuk tidak bekerja sesuai fungsinya. Sama saja melecehkan pemberian Tuhan hanya untuk taklid kepada kyai, ustadz, atau murabbi.

Pertanyaan surga dan nerakanya orang yang dicintai atau yang dianggap memberikan kebaikan duniawi, bukan saja dilakukan oleh si penulis muslim tadi atau kawan saya saja. Sang Abul Anbiyaa, Ibrahim As. pun pernah mempertanyakan surga bagi ayahnya. Terlepas kekafiran Aadzar, ia telah membesarkan dan menghidupi Ibrahim, namun Allah menolak karena keyakinan Aadzar hanya kepada berhala buatannya (QS. 60:4).

Keyakinan kepada-Nya adalah hak Tuhan untuk membalasnya.
Itulah Keadilan Tuhan.

Muhammad Rasulullah pun pernah dihingga kebimbangan ini dan "menggugat" Tuhan karena sang paman, Abu Thalib, yang dicintainya dan juga telah beramal membesarkan dirinya, membiayai dakwah, dan hidupnya namun saat ajal harus memasuki neraka. Allah menjawabnya:

"Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada siapa yang engkau kasihi, tetapi Allah menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang menerima petunjuk" (QS. 28:56).

Keyakinan kepada-Nya adalah hak Tuhan untuk membalasnya.
Itulah Keadilan Tuhan.

Apabila Einsten diminta memilih tentang keyakinannya tentang teori relativitas atau menerima Nobel namun mengubah teorinya untuk kepentingan industri. Sudah pasti ia akan memilih keyakinannya tentang teorinya. Apabila Che Guevera diminta memilih keyakinannya atas kemerdekaan Kuba atau kemuliaan membela diktator Bolivia, pasti dan ia telah membuktikannya dengan memilih mati demi keyakinan.

Begitu mahalnya keyakinan, sehingga harta, kemuliaan, dan jiwa tidak menjadi penghalang untuk membela keyakinannya.

Saat Tuhan menciptakan manusia di dunia ini, menciptakan segala isi alam ini dari partikel terkecil hingga besarnya semesta tata surya, memberikan ke-Rahman-an & ke-Rahim-an kepada seluruh makhluk-Nya. Kita disadarkan: "fa bi ayyi aalaa-i rrabikumaa tukadzdzibaan" (Maka Nikmat dari Rabb mana yang kamu akan dustakan?!, QS. Ar Rahman). Tuhan tidak meminta kita untuk mengganti segala nikmat yang diberikan-Nya, Dia hanya meminta kita untuk sebuah KEYAKINAN kepadanya. Dan ke-MahaBesaran-Nya, Dia akan membalas lebih dari segala isi dunia dan kemuliaannya, yakni dengan SURGA.

Keyakinan kepada-Nya adalah hak Tuhan untuk membalasnya.
Itulah Keadilan Tuhan.

Apakah kita berhak mengatakan Tuhan tidak adil, karena Einsten yang hanya memiliki kecerdasan sebatas teori relativitasnya tapi tidak meyakini ALLAH (ISLAM), lalu Dia balas dengan neraka-Nya.

Apakah kita berhak mengatakan Tuhan tidak adil, karena Che Guevera yang hanya memiliki keberanian melawan dikatator Bolivia tapi tidak meyakini ALLAH (ISLAM), lalu Dia balas dengan neraka-Nya. Apakah kita berhak mengatakan Tuhan tidak adil, karena si Ujang yang hanya memiliki kesalahan mencuri tapi bertobat & meyakini ALLAH (ISLAM), lalu Dia balas dengan surga-Nya.

Itulah harga sebuah KEYAKINAN.
Itulah keadilan Tuhan.

Sejujurnya, hingga detik ini saya belum mengerti benar tentang keadilan Tuhan, apalagi saat menghadapi langsung yang dinamakan takdir. Saat saya ditinggalkan almarhumah ibu saya (allahumaghfirlahu), kekerdilan pikiran saya pun protes, kenapa harus ibu saya? kenapa bukan para koruptor? Padahal saya belum lama puas bercengkerama penuh cinta dengan ibu, dan saya (bahkan banyak orang) sudah muak dengan hidupnya koruptor!!

Saya hanya bisa jatuh bersimpuh, dan hanya bisa meyakini: Itulah keadilan Tuhan. Itulah keadilan Tuhan yang saya belum mengerti hingga saat ini, namun saya meyakini bahwa Dialah Tuhan yang memiliki keadilan yang seadil-adilnya. Karena siapa lagi yang bisa saya percayai dan diyakini kebenarannya selain Allah.

*ditulis di Ciledug, Juni 2005

Berita Konspiratif = Takhayul Modern

Cerita-cerita di film atau buku detektif pasti ngga seru kalo ngga ada konspirasi sang penjahat yang bisa diungkap oleh sang jagoan. Semakin canggih itu konspirasi semakin dianggap "berbobot" itu berita. Jadi jangan heran, kalau berita bertema konspiratif di milis/internet yang "underground" (media tak berbentuk) laku laris manis, terlihat suka relanya anggota milis menyebarkan berita konspiratif itu.

Kenapa berita konspiratif itu laku?
Mudah saja jawabnya, karena pasar menyukainya. Rasa ingin tahu yang sangat besar kadang tidak cukup memperolehnya dari berita simple "apa adanya" yang disajikan media biasa. Maka untuk menghilangkan kehausan akan rasa ingin tahu itu, dicarilah berita konspiratif yang dianggap itulah "sesungguhnya" berita.

Terus terang, saya adalah penikmat berita konspiratif, saat kecil mengagumi Lima Sekawan dan Trio Detektif yang bisa memecahkan kasus-kasus kejahatan. Menanjak dewasa, mulai membaca konspirasi kejahatan & pembunuhan lebih berat, Agatha Christie, dengan sang jagoan Hercules Poirot.

Era 97-an, menjelang kejatuhan Soeharto, saya ikut gerakan Islam yang selalu memperoleh berita panas "konspiratif" via internet/milis. Jujur pada saat itu saya menganggap berita via internet itu lebih valid dibanding media yang ada. Satu per satu berita "underground" itu menjadi fakta dan pembenaran bagi saya dan gerakan Islam untuk melakukan aksi. Pamswakarsa sebagai contohnya adalah korban dari pemberitaan adanya konspirasi gerakan kristen merebut kepemimpinan Islam yang diwakili Habibie. Anak-anak muda dari berbagai daerah yang lugu mati konyol (beberapa Ustadz bilang mati syahid) karena heroisme yang dikobarkan karena berita konyol itu. Bahkan gerakan Azhari dan Nurdin M. Top pun melakukan doktrinisasi melalui berita-berita Internet.


Dan terus terang saya juga adalah penyebar dan penulis berita konspiratif pada saat itu -Astagfirullah- sebagai alat perjuangan dan propaganda. Pola-polanya sampai sekarang kalau diamati tidak ada perubahan. Biasanya tema yang diangkat adalah umat Islam yang menjadi korban. Karena "korban" dalam tema-tema cerita Indonesia selalu akan membangun simpati. Berita konspiratif selalu diawali oleh fakta terlebih dahulu sebagai pembenaran. Barulah sedikit demi sedikit dimasukan fiksi satu dengan fiksi lainnya. Dan jangan lupa dibumbui logika sains, sejarah, agama, sampe potret demografis supaya logis dan masuk akal.

Lucunya, sampai sekarang sang penyebar berita konspiratif itu selalu bisa mengungkap kejadian-kejadian aksi Yahudi/Nashrani, tapi ngga pernah bisa sampai sekarang mencegah, apa lagi menyerang balik. Konspirasi AS dan Yahudi dibalik bom bali, sampe bom nuklir pra Tsunami Aceh. Cerita fiktif pun, kalo jagoan cuma bisa ngungkapin strategi musuh tapi perang kalah melulu, kayaknya ngga logis juga. Tokoh ikhwanul Muslimin pernah menulis buku Jahiliyah Modern saat melihat fenomena umat Islam yang terasuki duniawi. Menganalogi berhala latta & uzza dengan berhala jaman modern berupa Harta, Tahta, dan Wanita.

Saya coba menyamakan pemberitaan konspiratif yang selalu memfaktakan umat Islam sebagai korban konspiratif AS dan Yahudi sebagai takhayul modern. Bukan berarti, agresi dan propaganda AS Yahudi di dunia Islam tidak ada. Tetap, kejahatan AS di Irak dan Israel di Palestina tetap harus dilawan, tetapi tidak dengan membodohi umat. Musuh harus dijelaskan secara definitif, faktual, dan terbuktikan. Dengan itu kita telah bersikap ADIL kepada musuh sekalipun. Ingat ketika Ali ra. Saat perang diludahi musuh, maka Ali tidak jadi membunuhnya. Karena khawatir membunuhnya karena benci/dendam pribadi bukan karena musuh telah menghinakan Allah.

Kenapa saya menganalogikan pemberitaan konspiratif dengan takhayul, ada beberapa kesamaan yang bisa kita diskusikan:
  1. Secara definitif sama, kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap ada tapi sesuangguhnya itu tak ada (KBBI).
  2. Menyebar dari mulut ke mulut (milis ke milis) tapi tidak pernah ada penelitian ilmiah tentang takhayul itu.
  3. Bedanya takhayul tradisional penjahatnya = kuntilanak atau gendoruwo, kalau takhayul modern itu Yahudi/Nasharani.
Jangan bodohi umat dengan berita konspiratif. Cerdaskan Umat untuk bisa berpikir. Bahayanya, kalau yang membaca itu masih muda dan lugu, terus tidak berpikir panjang, kekonyolan mati sia-sia atas nama jihad pun bisa saja terjadi.


Romantisme Freire

Paulo Freire bukan sekedar tokoh pendidikan alternatif, yang sering kali dikutip para "aktivis" sebagai referensi menggugat industrialisasi dan kapitalisasi pendidikan. Dan banyak juga dikutip sebagai pembelaan para "drop out"-ers atas ketidakmampuan akademiknya. Bagi saya, dia merupakan ideolog sekelas Karl Marx, Sun Yat Sen, atau setidaknya sekelas Soekarno-lah. Buku masterpiece-nya "Pedagogy of The Oppresed" yang di-Indonesiakan oleh YOI menjadi "Pendidikan Kaum Tertindas" menjadi Das Capital pendidikan revolusioner bagi aktivis di berbagai negara dunia ketiga. Sempat diberangus di negaranya Brasil (termasuk Indonesia era orba 80an) karena dianggap merongrong stabilitas status quo.

Freire lahir di Recife, Brasil tahun 1921 dan meninggal 7 tahun yang lalu (1997). Secara akademis meraih gelar Doktor ilmu Sejarah & Filsafat Pendidikan Univ. Recife Brasil. Sempat bekerja di UNESCO & menjadi Guru Besar di Harvard. Salah satu gerakan revolusionernya muncul saat ia mengajar kalangan el pobresiado, sejenis wong cilik lah, di belantara Amazon. Ia menyaksikan terserabutnya kesadaran belajar menjadi pemaksaan mekanis negara melalui sekolah. Murid "ditindas" kesadarannya oleh "sang penindas" yakni Guru yang sebelumnya pun "tertindas" sistem pengajaran berlabel nasional. Antagonisme ini ternyata bermunculan di kota-di desa dengan beragam tampilan:

  1. Guru mengajar, murid belajar
  2. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa
  3. Guru bicara, murid mendengarkan
  4. Guru mengatur, murid diatur
  5. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

Praksis Freire menghadapi penindasan antagonisme ini ialah CONSIENTIZATION, yakni proses penyadaran dalam keseluruhan proses pendidikan, dari "kesadaran naif" hingga tingkat "kesadaran kritis", sampai akhirnya mencapai kesadaran tertinggi, yakni "kesadarannya kesadaran". Ungkapnya, pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dalam arti sesungguhnya yakni jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya!

Karena sesungguhnya, terdapat hidden agenda dibalik pemaksaan mekanis di lembaga SEKOLAH ini, yakni arus KAPITAL yang menggiurkan selain pesan STABILITAS status quo di negara otoriter dunia ketiga. Kebutuhan atas pendidikan berlabel sekolah itu sudah menjadi kebutuhan dasar sekaligus kebutuhan prestise. Klop sudah, Supply & Demand. "Sekolah bermutu sudah pasti mahal!" menjadi jargon bagi sang pemodal perusahaan bernama sekolah di negeri ini. "Standarisasi Internasional" pun menjadi hegemoni baru negara kaya terhadap negara miskin. Tak heran, keluaran yang dihasilkan pun harus menjadi agen kapitalistis, pergi pagi pulang petang menilai seberapa rupiah yang akan dihasilkan pasca pendidikan. Di negeri ini sepertinya tidak tersisa lagi sepotong roti bernama pendidikan bagi rakyat kecil.

Meski tak senaif Ivan Illich yang melakukan gerakan bebas dari sekolah atau Everett Reimer yang mengatakan "School is Dead!", Freire tidak menafikan institusional sekolah sebagai bagian dari perwujudan hak rakyat terhadap negara, yakni HAK untuk mendapatkan pendidikan tanpa biaya. Romantisme Freire ini sesungguhnya bisa menjadi ideologi penawar di negeri ini, saat parpol-parpol menjual ideologi murahan bernama kepentingan. Kita butuh Freire-Freire baru yang mengkontribusikan hidupnya bagi ilmu, pendidikan, dan kemanusiaan.

Terakhir, Freire membukakan mata kita bahwa sesungguhnya tujuan akhir upaya atas segala proses pendidikan adalah "memanusiakan manusia itu sendiri!".

Man arafa nafsah, arafa Rabbah.

-------
"bunga yang hanya tumbuh sendiri tak perlu cemburui duri yang tumbuh beramai-ramai"
(rabindranath tagore)

MLM - The Hidden Motive

Belum lama berselang, ada seorang sahabat lama ingin bertemu. Yah namanya sahabat direla-relain deh nungguin sampe jam 1 malem, meski nggak enak hati juga sama istri di rumah. Eh, nggak taunya dateng bukannya silaturahmi, die cuma nawarin MLM. Gile juga nih MLM dalam hati, bisa-bisanya bikin orang jauh-jauh bisa dateng!! Ini sudah yang ke 5 kalinya kali ditawarin MLM, yang produknya obatlah, alat-alat kecantikan lah, dari MLM lokal sampe impor kaya Amway.

Dipikir-pikir, MLM (Multi Level Marketing) memang trend marketing yang “cerdas” buat menjual produk di pasar yang lagi lesu. Bayangin suatu produk suplemen (obat) seharga ratusan ribu rupiah yang biasanya orang kaya juga pikir-pikir dua kali untuk beli, lewat MLM orang lagi krismon kemaren sampe minjem2 duit mau berlomba-lomba beli, trus maksa beli lagi, beli lagi!

Ide baiknya memang mencoba menjajakan produk langsung tanpa lewat distributor/agen sehingga diharapkan orang bisa beli harga produsen. Tapi kenyataannya bukannya harga produk bisa dipotong, eh malah di-mark up gila-gilaan sampe 200%!! Buat siapa lagi, selain buat orang yang udah punya kaki-kaki tangan atau level-level dari hirarki sistem MLM.

Metode segitiga Pascal itu! Satu agen harus narik minimal 2 kaki, nah si kaki ini juga harus nyari temennya, dari 1,2,4, 8, 16 terus jadi 2 pangkat (level) ke n. Kalo minimal 3 kaki berarti 3 pangkat (level) ke n.

Secara garis besar artinya selain dia (harus) beli itu produk juga “memaksa” anak buah di bawahnya juga harus membeli produk itu (baca: konsumtif).

Dari 200% mark up tadi dibagi2 deh buat jenjang2 di MLM. Kalo udah level tinggi biasanya udah bisa dapat fee 25% (1/4) harga produk di kali n kuadrat. Misalnya paling tinggi level 8 berarti kalo harga produknya Rp. 400 ribu, die bisa untung= 2 pangkat 8 (=256) x 100.000 = Rp. 25.600.000 dengan ongkang2 kaki sekali penarikan!! Itu bisa sebulan atau seminggu sekali!!

Itu buat sistem 2 kaki, coba kalo kayak Amway yang min. 4 kaki. Kalo die level 8 berarti= 4 pangkat 8 (=65.536) x fee -misalnya nggak gede2- Rp. 10.000 = Rp. 655.360.000 sekali penarikan per bulan/per minggu!!!!

Wajar aja di hasil riset suatu majalah bisnis, kalo pekerjaan MLM adalah peringkat gaji tertinggi di atas dokter spesialis sama manajer2 multinasional. Tapi kayaknya masih dibawah sedikit dari gaji anggota DPR, ya nggak?!


Tidak Sekedar Cinta

Pernikahan adalah keniscayaan yang tak terbantahkan bagi setiap insan. Ia adalah "mitsaqan ghaliza", sebuah ikatan kuat antara dua insan -pria dan wanita- untuk memulai menjalankan bahtera hidup bersama. Memang ia berawal dari cinta yang tumbuh (atau ditumbuhkan) oleh kedua insan, namun -kalau saya boleh menanggapi- itu tidaklah (cukup) sekedar cinta untuk memeliharanya.

Cinta memang akan memberikan kekuatan luar biasa bagi insan yang kasmaran, gunung 'kan kudaki, lautan pun 'kan kuseberangi demi yang bernama cinta. Ia memang bersumber dari hati bukan dari akal. Ada yang mengatakan, jangan tanya akal tentang wanita/pria yang hendak dinikahi. Pastilah akal akan menunjukkannya kekurangannya, dan pasti Anda akan berpikir berulang kali untuk menikahinya. Tapi tanyailah hati, maka ia menjawab penuh kelebihan, kalaupun ada sedikit cacat maka hati akan menugaskan akal untuk mencari pembenarannya.

Ibn Hazm pernah menulis: "Cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Ia tidak dapat dilukiskan tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya dan syariat pun tidak melarangnya. Karena hati di tangan Tuhan, ia yang membolak-baliknya".

Cinta bukan berarti tidak rasional, tapi ia akan gersang apabila dipaksa untuk dirasionalkan. Itu sama saja memaksakan untuk me-materi-kan 'cinta'. Tapi cinta bisa untuk dipikirkan. Dan cinta tanpa pegangan akal hanya akan menjadikan kendaraan tanpa kendali. Jikalau cinta itu bersambut, kelak kemungkinan besar insan itu terjangkiti rasa cemburu buta (over obsesif). Dan apabila cinta itu tak bersambut, kelak kemungkinan besar insan itu terjerembab kedukaan (broken heart syndrom) yang berkepanjangan.

Usai cinta ditumbuhkan, perlu dimulai kelapangan dada, mawaddah, untuk menerima kekurangan yang ada. Cinta sering kali hanya sampai menerima hanya pada kelebihan yang dimiliki pasangannya. Bukankah Allah pernah mengingatkan, suami adalah pakaian bagi istrinya dan isteri adalah pakaian bagi suamnya? Sikap mawaddah dalam pernikahan adalah mau menerima apapun yang dimiliki pasangannya, lebih dan kurangnya. Saling memperkuat kelebihan yang dimilki dan menutupi kekurangan yang ada.

Terakhir, adalah harapan atas rahmat Allah. Cinta dan mawaddah bisa diputuskan oleh waktu dan situasi, tapi tidaklah dengan ke-rahman-an Allah, yang akan abadi. Namun tentunya itu pun terkait erat amanah yang dituntunkan Allah bagi sang suami dan sang isteri. Dengan ke-rahman-annya Allah, hati kedua insan tetap terjaga meski badai dan ombak bergulung menerpa bahtera.

Sekali lagi, bagi yang sedang kasmaran, pernikahan tidaklah cukup (sekedar) cinta. Ia adalah pertautan cinta yang terangkai akal, terjalin dalam mawaddah, merangkumkan diri dalam rahmah dan amanah Allah. Insya Allah, barokah menjadi keniscayaan yang selalu hadir bagi pernikahan dua insan itu dan mengikatkannya dalam kebaikan.

"Barakallahulaka wa baroka alaiah, wa jama baina huma fii khoiir"

Mengutip puisi Buya Hamka
Kembangkan layar, bahtera siap berlayar!

Kami hanya mengantar hanya sampai sini
Berlayarlah, berlayarlah...

The Trully Ukhuwah

"jika teringat tentang dikau, jauh dimata dekat dihati ..."
(Jika, Melly G & Ari Lasso)

Kenapa yah waktu ngedenger lagu lama ini, pasti yangg muncul di dlm pikiran tuh masa-masa romantis menjadi aktivis mahasiswa waktu acara nikah massal tahun 2000 yang lalu yah?!

Gimana nggak romantis?!

Kerjaan super gila dua bulan lebih, nyari pasangan nikah dari barat sampe timurnya jakarta, dari Koja Tanjung Priuk di utara ke Pasar Minggu di Jakarta Selatan. Ngadepin preman, pemulung, orang miskin kota di Cawang & Tanah Abang yang minta dinikahin suapaya dapet akta nikah, kalo nggak golok bermain. Semaput ngadepin bujet yang nggak ada pemasukan sama sekali. Wuaah gila abis, capek, kesel, mau marah tapi nggak tau sama siapa, mau nangis malu udah gede. Campur aduk, tapi waktu ngedenger nih lagu, semua terhibur lagi. Nggak ada malem, waktu itu, tanpa lagu itu yang jadi lagu ini jadi lagu "kebangsaan".

Banyak kenangan waktu nikah massal dulu yg selalu saya syukuri sama Allah dan nggak akan pernah lupa sampe sekarang. Dulu kayaknya nggak kepikiran, jangankan mau disyukuri, yang ada cuma ada 1000 kali kapok di hati. Mungkin itu yang namanya "bleasing in disguise" dari Allah. Dengan itu, Allah menunjukkan siapa2 sahabat sejati, siapa2 teman di persimpangan jalan, dan siapa2 yang culas oportunis.

Sejujurnya -mungkin juga teman-teman ada yg setuju-, karunia Allah yang sangat besar itu ternyata sahabat-sahabat sejati. Kalau harta di masa-masa sulit pasti akan terasa kurang. Kalau tahta/jabatan, di masa2 sulit pasti malah menjadi beban bagi kita. Tapi sahabat sejati di masa2 sulit malah akan membesarkan kita. dan yg bisa memunculkan siapa2 sahabat sejati, yah pada masa2 sulit itu. dan alhamdulillah, Allah menunjukkannya itu.

Sahabat sejatiku, hilangkah dari ingatanmu
Di hari kita saling berbagi
Dengan kotak sejuta mimpi, aku datang menghampirimu
Kuperlihat semua hartaku

Kita s'lalu berpendapat, kita ini yang terhebat
Kesombongan di masa muda yang indah
Aku raja kaupun raja
Aku hitam kaupun hitam
Arti teman lebih dari sekedar materi

(Sheila on 7, Sahabat Sejati)

Capek yang dirasakan bersama sahabat sejati akan terasa menjadi kekuatan baru. Air mata yang terurai bersama sahabat sejati akan meneteskan semangat-semangat baru.

"sekali lagi dan ribuan kali lagi, ya Allah, syukur alhamdulillah Engkau telah memberikan sahabat2 sejati kepadaku di masa2 sulit. semoga kiranya, nikmat ini selalu Engkau pelihara dari pra sangka, isu, dan fitnah yg seringkali muncul saat hamba-Mu lupa untuk memelihara silaturahmi"

Satu sahabat sejati yang ngga mungkin dilupakan, Mas Faizin! seorang guru pesantren yang lugu, sederhana, sedikit lucu. Terus terang saya pribadi dapet pelajaran banyak dari Mas Faizin, Bukan dari nasehat2nya tapi dari persahabatan sejatinya. Waktu nyari pasangan nikah bareng2, waktu maken bareng, tidur bareng, satu pelajaran didapat: "bukan katakan dengan cinta, tapi lakukan dengan cinta".

Itu yang memutarbalikan pemikiran saya tentang ukhuwah islamiyah selama ini yg selalu dipengaruhi ideologi politik, mazhab, manhaj jam'iyah. semua diporak-pondakan dengan tindakan cinta, melalui sorot matanya, dagelannya, pijit-pijitannya, sarungannya. Sederhana memang, tapi itulah yang saya rasakan sebagai "the really ukhuwah", persahabatan sejati, bukan dengan gembar-gembor di media massa dan mimbar-mimbar, tapi di hatinya penuh kekesatan/kedengkian.

Semoga Allah selalu memberikan Mas Faizin kesehatan dan keluarga yg bahagia, karena itu yg dimintanya bukan kekayaan dari sabetan kyai NU atau kedudukannya di PKB. thanks God..

Ternyata persahabatan sejati itu bukan lahir dari suatu yg serba sama, tapi dari kebersamaan. tidak menafikan perbedaan, tapi menghargai perbedaan. Perbedaan yang membuat bersahabat, karena persahabatan adalah penghormatan kpd perbedaan bukan pemaksaan agar suatu itu harus SAMA.

Ayo kawan, kita nyanyikan sama2. Nggak masalah suara sumbang, beda2 aliran, kita ciptakan kebersamaan.
"jika teringat tentang dikau, jauh dimata dekat dihati ...
la.. la.. laa... laa... "

Itulah harmoni dari "the really ukhuwah".

ditulis 2 tahun setelah aksi Nikah Massal 2000